Postingan

Pacaran dengan Tuhan

Relasi dengan Tuhan itu kalau dirasakan lebih lanjut sepertinya mirip dengan pacaran. Kita mengenal Dia karena kita ingin mengenal Dia. Kita dapat memahami kehendakNya karena kita berusaha memahami kehendakNya. Kita mencintaiNya karena kita ingin mencintaiNya. Bisakah dalam hubungan pacaran yang sehat kita membuat pacar kita suka dengan terpaksa? Saya rasa yang orang pacaran lakukan adalah berharap bahwa dirinya mencintai kita. Bayangkan itu tapi dalam konteks kita dan Tuhan. Begitu kita menjadikan firman Tuhan sebagai suatu set beban latihan iman dengan terpaksa, karena kita berpikir bahwa itu yang harus kita lakukan karena memang kita disuruh begitu, maka ada yang tidak beres dengan "Mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu." Kalau kamu merasa bahwa kamu terpaksa ngedate dengan pacarmu, atau terpaksa mengantar dia kerumahnya tiap kali pulang kampus atau semacamnya, dan itu adalah beban yang berat bagimu tanpa per...

Menulis dan Menulis

Sudah lama saya tidak menulis. Dalam artian menulis karena hobi, bukan menulis pekerjaan kampus yang ketebalannya dapat diibaratkan sebagai martabak istimewa-ultra-super-gila-sedeng-edan-spesial telor, yang tentu saja susah sekali untuk dihabiskan. Tetapi saya sadar bahwa ini adalah salah satu cara bagi saya untuk melepaskan diri sejenak dari waktu yang terus bergerak. Seseorang yang sepertinya pandai pernah berkata bahwa 'menulis adalah teknik untuk mengawetkan ide'. Orang yang sangat jenius hanya akan dikenang idenya selama ada yang menuliskannya, atau orang itu sendiri yang menuliskannya. Sementara orang yang hanya dikenal oleh segelintir orang lain seumur hidupnya dapat diketahui oleh orang-orang sedunia apabila ia menulis. Jangan lupa untuk menuliskan nama juga. Intinya menulis bagi saya adalah pelampiasan ide yang terkungkung. (dan jalan menuju kesuksesan dalam menjual buku, hehehe) Singkat kata, saya bakal berusaha menulis di blog ini setiap hari, biarpun ...

Andaikata #1: Kuliah

Andaikata waktu itu diriku sedang tidak hoki. Waktu dimana nilai-nilai raporku (yang sebetulnya rata-rata banget)(mungkin lebih dikit) ditinjau dan diteliti oleh tim SNMPTN ITB. Kemudian saat aku mengecek hasilnya, ternyata aku tidak lolos. Apa yang akan terjadi? Mungkin aku akan masuk ke universitas lain. Bagaimanapun susah untuk survive  di dunia ini kalau tidak punya ijazah. Dengan demikian aku mengikuti jejak kawan-kawanku yang sudah lama menyerah masuk PTN. Lalu jelas aku akan bertemu dengan teman-teman baru yang lain. Tetapi biarpun kampusnya lain, kesulitan yang akan kuhadapi dengan yang sudah kuhadapi sekarang tidak akan berbeda terlalu jauh. Pada akhirnya aku tidak akan merasa lebih senang ketimbang sekarang, selain kemungkinan kalau IPku mungkin akan lebih baik di universitas tersebut. Bagaimana dengan kemungkinan yang sepertinya lebih ringan, bebas dari PR, tugas, ujian, proyek, TA, dan skripsi? Seperti tidak berkuliah dan langsung bekerja? Bagaimana kalau aku meng...

Budayakan Mencontek!

Setiap guru, dosen, pengawas ujian, bahkan poster-poster di sekolahkan tidak mungkin tidak pernah melarang muridnya mencontek. Lebih daripada larangan untuk merokok, malahan. Padahal merokok jelas membunuh kita, sedangkan mencontek menghindari pembunuhan oleh bo/nyok karena nilai merah terbakar di atas kertas ujian. Mencontek itu sudah kayak narkoba. Kalau dipakai, bisa fatal akibatnya. Ketahuan mencontek, auto nol! Mencontek pas ujian semester? Ulang tuh pelajaran tahun depan! [Namanya juga ujian kali, ya wajar lah! Kan ujian buat mengetes kemampuan peserta didik. Kalo pake contek-contekan, ntar nggak valid hasilnya.] Iya, emang sih. Masalahnya dari fungsi ujian itu. Buat mengetes kemampuan . Cuma ujian sekarang disalahgunakan; nggak lulus ujian berarti disaster . Disaster  berarti ngulang tahun depan. Ngulang berarti bayar biaya kuliah lagi! Padahal belum tentu karena (maha)siswa yang bersangkutan oon. Bisa jadi karena ada urusan lain yang jauh lebih mendesak, ataupun me...

Limit

Ini bukan deskripsi matematis, btw. Ini bukan soal garis slope  dari suatu titik dalam suatu kurva. Jadi jangan khawatir. Dengan logika bahwa water  itu adalah air, limit adalah batas. Lalu ada apa dengan batas? Mengapa saya tiba-tiba ingin membahasnya jam setengah enam pagi? Kalau dipikir-pikir, semua hal di dunia ini ada batasnya. Dalam hukum alam, limit itu merupakan hal yang tak terelakan. Kecepatan mencapai limit di 300.000 km/s; lebih cepat dari ini merupakan suatu keajaiban yang kita katakan mustahil. Setiap benda memiliki batas elasititas yang kalau dilampaui akan mengakibatkan rusaknya benda tersebut. Bahkan ada suhu tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh siapapun di dunia, begitu juga dengan suhu terendah. (suhu tertinggi di 10^38 K dan suhu terendah di 0 K). Bagaimana dengan mahluk hidup di sekitar kita? Jangan ditanya. Dibandingkan dengan hukum alam, batasan mereka sedemikian banyaknya sehingga kita mahluk hidup bisa dikatakan rapuh. Ambil contoh saja say...

Kupikir aku harus menulis cerita romantis,

Tapi aku nggak tahu gimana cara bikinnya. Wong pacar aja nggak pernah punya. Hiks. -si Blogger Malas

Mindless

Menjadi mindless itu merupakan suatu kenikmatan bagi seorang pemikir, apalagi seperti saya. Otak sebesar dua genggaman tangan yang saya biasanya pakai untuk berpikir banyak hal, ternyata juga butuh beristirahat. Mindless bukan berarti menjadi bego. Hanya saja tidak membebani pikiran ini dengan segala macam hal yang jauh: filosofi, sains, masalah asmara. Istirahat, nikmati saat-saat ini. Mungkin dengan bermain game, atau melihat YouTube. Jelas sangat menurunkan stress. Karena saya tahu, dalam hitungan minggu otak saya akan dipaksa bekerja lebih keras lagi. Kalo nggak bisa-bisa nilai UTS saya meluncur bebas sampai ke dasar jurang. So, brain, this is your solace before torture. my greetings for y'all si Blogger Malas (CJWiguna)