Limit

Ini bukan deskripsi matematis, btw. Ini bukan soal garis slope dari suatu titik dalam suatu kurva. Jadi jangan khawatir.

Dengan logika bahwa water itu adalah air, limit adalah batas. Lalu ada apa dengan batas? Mengapa saya tiba-tiba ingin membahasnya jam setengah enam pagi?

Kalau dipikir-pikir, semua hal di dunia ini ada batasnya. Dalam hukum alam, limit itu merupakan hal yang tak terelakan. Kecepatan mencapai limit di 300.000 km/s; lebih cepat dari ini merupakan suatu keajaiban yang kita katakan mustahil. Setiap benda memiliki batas elasititas yang kalau dilampaui akan mengakibatkan rusaknya benda tersebut. Bahkan ada suhu tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh siapapun di dunia, begitu juga dengan suhu terendah. (suhu tertinggi di 10^38 K dan suhu terendah di 0 K).

Bagaimana dengan mahluk hidup di sekitar kita?

Jangan ditanya. Dibandingkan dengan hukum alam, batasan mereka sedemikian banyaknya sehingga kita mahluk hidup bisa dikatakan rapuh.

Ambil contoh saja sayur. Beli sayur di pasar, kalau kepanasan dia akan layu, kurang air dia akan layu, terlalu lama di kulkas dia akan layu. Apalagi beli pisang.

Pohonpun batasannya banyak. Kurang matahari, daunnya menguning. Kurang air, daunnya berguguran. Kebanyakan air, akar membusuk. Terserang penyakit, matilah itu pohon.

Lucunya, cuma manusia saja yang sekarang bisa berkata kalau mereka dapat hidup tanpa batas. Limitless. Saya tahu maksud mereka yang berkata demikian bukanlah berarti kalau mereka dapat melanggar batasan-batasan alam (biarpun banyak yang berpikir kalau manusia dapat melakukan hal tersebut di masa depan nanti, tapi hukum alam tetaplah hukum alam).

Lebih tepatnya limit-limit yang tidak pernah ditentukan alam sebelumnya: etika sosial dan aturan keagamaan.

Pernahkan Anda mendengar teman Anda berkata, "Saya tidak ingin melakukannya, soalnya dilarang agama.", atau ungkapan sejenisnya? Juga perkataan, "Hus, jangan gitu; pamali."?

Pertanyaannya adalah mengapa? Mengapa kalau itu dilarang agama, atau itu pamali? Mengapa manusia harus membuat batasan-batasan yang menyusahkan diri mereka sendiri? Mengapa kalau kita melakukan sesuatu yang berbeda dengan pandangan sosial kita akan dikucilkan? Mengapa limit itu harus ada?

Bagi orang-orang yang sangat tekun berkeyakinan akan Tuhan mereka masing-masing, pernyataan tersebut sangat mudah dijawab: karena kalau tidak Tuhan akan kecewa/sedih/marah/murka/dsb. Kita yang yakin Tuhan itu selalu berada mengawasi kita sadar bahwa Ia juga punya otoritas akan hidup kita. Jadi kita nggak bisa hidup sembarangan

Bagaimana dengan orang-orang yang menganggap kalau Tuhan itu tidak ada, atau sudah mati?

***

Sejujurnya, menurut saya, manusia yang berpikir kalau Tuhan sudah lenyap, atau tidak ada, itu adalah untuk menghindari pengakuan atas otoritas Tuhan, dan dengan begitu, segala batasan yang Ia buat.

Apabila Tuhan ada, maka hidup manusia harus begini, harus begitu. Tidak bisa bebas. Sama seperti orang yang berpacaran, mereka tidak bebas makan bersama teman-teman lawan jenisnya yang lain, atau bahkan berjalan berduaan bersama mereka. Si cowok nggak bebas main game online karena harus nemenin si cewek.

Lebih asik kalau jomblo aja. Terhindar dari segala batasan yang akan ditemui saat berpacaran.

Masalahnya apakah itu baik-baik saja? Maksudnya kalau gitu sih namanya mau-maunya sendiri. Begitu menemukan hal yang kita rasa tidak mengenakan, langsung kita hindari dengan berkelit kalau penyebabnya tidak ada, atau suatu ilusi.

"Bumi itu datar! Foto-foto yang ada di internet dan media lain adalah hasil konstipasi wahyudi!", adalah contoh yang sangat bagus. Supaya cocok dengan argumen kecil orang-orang konyol ini, mereka menabrak seluruh batas lainnya, seperti 'verifikasi scientific', 'bukti yang sangat banyak, sangat konyol kalau tidak ada yang menyadari bahwa itu adalah hasil rekayasa', dan lainnya.

Tapi nampaknya orang-orang yang hidup tanpa batas menjalani hidupnya dengan kebahagiaan yang tinggi. Mereka tidak memiliki beban apapun bila hidup tanpa limit.

Ataukah begitu?

Apabila pemerintah membuat jalan tol baru. Tapi mereka membuatnya tanpa batasan-batasan standar di jalan; tanpa batas kecepatan, tidak ada aturan soal selip-menyelip. Motor boleh bebas masuk. Yang ngantuk silahkan nyetir. "Aku ngantuk; nggak bisa nyetir"--jangan ngomong begitu! Kamu di jalan tol ini tanpa limit!

Lakukan itu, dan dijamin tingkat kecelakaan di jalan tol tersebut akan jauh lebih tinggi ketimbang kecelakaan di Tol Cikampek selama sebulan.

Suatu negara yang penduduknya juga sembarangan dalam membatasi hidup mereka juga akhirnya jadi kacau. Anggap ada suatu negara, yang mayoritas penduduknya berhutang untuk bersenang-senang. Saat negara tersebut harus membayar hutangnya, mereka tidak bisa karena hasil dari kerja mereka tidak mencukupi. Omong-omong itu apa yang terjadi dengan Yunani.

Manusia itu tidak mengenal batas. Jadi kita harus membuat batasan sendiri. Namun saat manusia memutuskan kalau membuat atau mengikuti batasan tidak dibutuhkan, maka manusia akan kembali sebagai mahluk yang tidak mengenal batas. Untung saja di dunia ini manusia tetap terikat dengan batasan hukum, sebab masih ada yang namanya otoritas yaitu pemerintahan. Tapi bayangkan kalau otoritasnya juga tidak mengenal batas, dan membuat hukum seenaknya, betapa kacaunya negara yang melakukannya.

Dan bagi saya sendiri, saya menempatkan batas-batas dalam hidup saya, dengan satu alasan yang sangat counterintuitive: saya ingin hidup bahagia. Lepaskan batas-batas itu, dan saya akan mengalami masalah-masalah baru yang akan sangat mengganggu dan membebani.

Bila semua orang melakukan hal ini juga, membuat batasan-batasan yang kalau dilewat akan mengakibatkan masalah, saya percaya hidup kita bisa jauh lebih baik.

Sialnya, manusia sendiri ndak pernah sepakat akan apa itu masalah dan tidak. Jadi saya hanya bisa bersenang-senang dalam utopia pikiran saya saja. Huft.

-Si Blogger Malas (1 Sept 2017)

Komentar

  1. Pertama, tidak seperti itu cerita tentang Yunani. Kedua, sebetulnya manusia itu lebih tepatnya gagal menentukan limit. Saat satu sendok gula itu kurang, kita mungkin akan mengambil satu sendok lagi, seterusnya sampai sadar itu kemanisan. Saat kita merasa 10 juta kurang, kita akan meraup uang sampai menjadi milyuner. Selama manusia tidak bisa menentukan batas secara objektif tanpa melibatkan perasaan mereka, manusia akan bergerak tanpa batas. Kita tidak pernah puas, maka dari itu batas akan terus berubah sampai titik absurdnya.

    - si Blogger Malas (9 Juni 2019)

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Articles

I Gave You What You Prayed, Why are You Still Complaining?