Postingan

I Gave You What You Prayed, Why are You Still Complaining?

Said a "voice" in my heart, the instant I told my family that I'm feeling sheared and ripped inside. That was after I told them that the pandemic destroyed all of my "reset buttons", all of my social skills, and my ability to grasp reality so that I don't succumb into fictional world which also known as "the living underworld." That voice was calm and contentful. It bear no judgement, or ill will, or any arrogance like "I've told you so!" that people like to usher every time you made stupid mistakes. That voice needs not to be raised, nor to be pitched up, because it itself is already perfect: it just said those 11 words exactly how the most patient being would say. "I remember when you cried to me that day, that your thoughts torment you. It gave you sleepless night. It made all of your achievement comparable to cat shit and piss, so you only think of that as a mere blip in the space-time. I remember you felt enraged by yourself

Manusia Bersandiwara Menjadi Tuhan

"And the serpent said unto the woman, Ye shall not surely die: For God doth know that in the day ye eat thereof, then your eyes shall be opened, and ye shall be as gods, knowing good and evil." Genesis 3:4-5, KJV. Harus diakui, sepanjang sejarahnya manusia selalu berkutat dengan nilai. Nilai menjadi seorang lelaki bagi keluarganya. Nilai seorang raja dimata rakyatnya. Nilai orang-tua bagi anak-anaknya. Nilai suatu barang. Nilai suatu peristiwa. Nilai. Mengapa? Karena nilai adalah yang mendikte aktivitas manusia. Karena manusia terbatas, mereka tidak bisa melakukan segala sesuatu, sehingga dalam gerak-gerik mereka yang terbatas mereka harus memutuskan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak usah dilakukan. Dan itu semua bergantung terhadap nilai. Persepsi mengenai nilai tersebut adalah moralitas, dan kita semua tahu berapa banyak manusia-manusia yang menyumbang idenya perihal nilai dan moral, disepanjang sejarahnya. Masalahnya adalah saya sendiri tidak yakin dengan penjela

Pacaran dengan Tuhan

Relasi dengan Tuhan itu kalau dirasakan lebih lanjut sepertinya mirip dengan pacaran. Kita mengenal Dia karena kita ingin mengenal Dia. Kita dapat memahami kehendakNya karena kita berusaha memahami kehendakNya. Kita mencintaiNya karena kita ingin mencintaiNya. Bisakah dalam hubungan pacaran yang sehat kita membuat pacar kita suka dengan terpaksa? Saya rasa yang orang pacaran lakukan adalah berharap bahwa dirinya mencintai kita. Bayangkan itu tapi dalam konteks kita dan Tuhan. Begitu kita menjadikan firman Tuhan sebagai suatu set beban latihan iman dengan terpaksa, karena kita berpikir bahwa itu yang harus kita lakukan karena memang kita disuruh begitu, maka ada yang tidak beres dengan "Mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu." Kalau kamu merasa bahwa kamu terpaksa ngedate dengan pacarmu, atau terpaksa mengantar dia kerumahnya tiap kali pulang kampus atau semacamnya, dan itu adalah beban yang berat bagimu tanpa per

Menulis dan Menulis

Sudah lama saya tidak menulis. Dalam artian menulis karena hobi, bukan menulis pekerjaan kampus yang ketebalannya dapat diibaratkan sebagai martabak istimewa-ultra-super-gila-sedeng-edan-spesial telor, yang tentu saja susah sekali untuk dihabiskan. Tetapi saya sadar bahwa ini adalah salah satu cara bagi saya untuk melepaskan diri sejenak dari waktu yang terus bergerak. Seseorang yang sepertinya pandai pernah berkata bahwa 'menulis adalah teknik untuk mengawetkan ide'. Orang yang sangat jenius hanya akan dikenang idenya selama ada yang menuliskannya, atau orang itu sendiri yang menuliskannya. Sementara orang yang hanya dikenal oleh segelintir orang lain seumur hidupnya dapat diketahui oleh orang-orang sedunia apabila ia menulis. Jangan lupa untuk menuliskan nama juga. Intinya menulis bagi saya adalah pelampiasan ide yang terkungkung. (dan jalan menuju kesuksesan dalam menjual buku, hehehe) Singkat kata, saya bakal berusaha menulis di blog ini setiap hari, biarpun

Andaikata #1: Kuliah

Andaikata waktu itu diriku sedang tidak hoki. Waktu dimana nilai-nilai raporku (yang sebetulnya rata-rata banget)(mungkin lebih dikit) ditinjau dan diteliti oleh tim SNMPTN ITB. Kemudian saat aku mengecek hasilnya, ternyata aku tidak lolos. Apa yang akan terjadi? Mungkin aku akan masuk ke universitas lain. Bagaimanapun susah untuk survive  di dunia ini kalau tidak punya ijazah. Dengan demikian aku mengikuti jejak kawan-kawanku yang sudah lama menyerah masuk PTN. Lalu jelas aku akan bertemu dengan teman-teman baru yang lain. Tetapi biarpun kampusnya lain, kesulitan yang akan kuhadapi dengan yang sudah kuhadapi sekarang tidak akan berbeda terlalu jauh. Pada akhirnya aku tidak akan merasa lebih senang ketimbang sekarang, selain kemungkinan kalau IPku mungkin akan lebih baik di universitas tersebut. Bagaimana dengan kemungkinan yang sepertinya lebih ringan, bebas dari PR, tugas, ujian, proyek, TA, dan skripsi? Seperti tidak berkuliah dan langsung bekerja? Bagaimana kalau aku mengasum

Budayakan Mencontek!

Setiap guru, dosen, pengawas ujian, bahkan poster-poster di sekolahkan tidak mungkin tidak pernah melarang muridnya mencontek. Lebih daripada larangan untuk merokok, malahan. Padahal merokok jelas membunuh kita, sedangkan mencontek menghindari pembunuhan oleh bo/nyok karena nilai merah terbakar di atas kertas ujian. Mencontek itu sudah kayak narkoba. Kalau dipakai, bisa fatal akibatnya. Ketahuan mencontek, auto nol! Mencontek pas ujian semester? Ulang tuh pelajaran tahun depan! [Namanya juga ujian kali, ya wajar lah! Kan ujian buat mengetes kemampuan peserta didik. Kalo pake contek-contekan, ntar nggak valid hasilnya.] Iya, emang sih. Masalahnya dari fungsi ujian itu. Buat mengetes kemampuan . Cuma ujian sekarang disalahgunakan; nggak lulus ujian berarti disaster . Disaster  berarti ngulang tahun depan. Ngulang berarti bayar biaya kuliah lagi! Padahal belum tentu karena (maha)siswa yang bersangkutan oon. Bisa jadi karena ada urusan lain yang jauh lebih mendesak, ataupun mendad

Limit

Ini bukan deskripsi matematis, btw. Ini bukan soal garis slope  dari suatu titik dalam suatu kurva. Jadi jangan khawatir. Dengan logika bahwa water  itu adalah air, limit adalah batas. Lalu ada apa dengan batas? Mengapa saya tiba-tiba ingin membahasnya jam setengah enam pagi? Kalau dipikir-pikir, semua hal di dunia ini ada batasnya. Dalam hukum alam, limit itu merupakan hal yang tak terelakan. Kecepatan mencapai limit di 300.000 km/s; lebih cepat dari ini merupakan suatu keajaiban yang kita katakan mustahil. Setiap benda memiliki batas elasititas yang kalau dilampaui akan mengakibatkan rusaknya benda tersebut. Bahkan ada suhu tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh siapapun di dunia, begitu juga dengan suhu terendah. (suhu tertinggi di 10^38 K dan suhu terendah di 0 K). Bagaimana dengan mahluk hidup di sekitar kita? Jangan ditanya. Dibandingkan dengan hukum alam, batasan mereka sedemikian banyaknya sehingga kita mahluk hidup bisa dikatakan rapuh. Ambil contoh saja sayur. Beli