Manusia Bersandiwara Menjadi Tuhan

"And the serpent said unto the woman, Ye shall not surely die: For God doth know that in the day ye eat thereof, then your eyes shall be opened, and ye shall be as gods, knowing good and evil."

Genesis 3:4-5, KJV.


Harus diakui, sepanjang sejarahnya manusia selalu berkutat dengan nilai. Nilai menjadi seorang lelaki bagi keluarganya. Nilai seorang raja dimata rakyatnya. Nilai orang-tua bagi anak-anaknya. Nilai suatu barang. Nilai suatu peristiwa. Nilai.

Mengapa? Karena nilai adalah yang mendikte aktivitas manusia. Karena manusia terbatas, mereka tidak bisa melakukan segala sesuatu, sehingga dalam gerak-gerik mereka yang terbatas mereka harus memutuskan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak usah dilakukan. Dan itu semua bergantung terhadap nilai. Persepsi mengenai nilai tersebut adalah moralitas, dan kita semua tahu berapa banyak manusia-manusia yang menyumbang idenya perihal nilai dan moral, disepanjang sejarahnya.

Masalahnya adalah saya sendiri tidak yakin dengan penjelasan tersebut. Mengapa manusia begitu terobsesi dengan nilai? Mengapa kita sangat terobsesi dengan menentukan, "Oh, yang ini harus dilakukan! Yang ini tidak usah!", atau "Yah, harusnya blablablablabla kan sehingga blablablabla." Mengapa? Lagipula suatu aktivitas ya tinggal dilakukan; mahluk hidup selain manusia menghidupi kehidupannya dengan cara yang sama sejak awal kemunculannya hingga sekarang, dan tidak ada hal yang ditambahkan maupun dikuranginya. Mahluk hidup adalah mesin biologis yang melakukan segala sesuatunya karena begitulah ia terbentuk, terlepas dengan cara apa mereka terbentuk.

Tetapi manusia, oh man. Ide bahwa perang terjadi karena kita kekurangan makanan adalah ide yang cemerlang, tetapi kenyatannya banyak perang terjadi karena motivasi manusia yang tidak lazimnya dimiliki mahluk hidup lain, motivasi yang didasari oleh "ambisi pribadi," yang didasari oleh "nilai-nilai yang harus terpenuhi."

Keberadaan internet membuat orang-orang dapat melihat bahwa ada begitu banyak nilai yang saling tidak disepakati satu sama lain. Bisa-bisanya spesies sama tapi dasar nilainya berbeda. Jangankan itu, definisi nilai bagi tiap orang saja berbeda-beda, membuat kalimat yang saya ketikan barusan menjadi ambigu luar biasa. Suatu hal bisa dipandang buruk dan baik, tanpa takaran objektif sama sekali. Karena memang manusia tidak objektif; kita mahluk yang berpura-pura menjadi objektif.

Setiap orang ingin menentukan penilaiannya masing-masing, menyebabkan adanya kesenjangan antar-generasi (boomer vs zoomer), perbedaan paham politik dan ideologi (kiri vs kanan, konservatif vs liberal, dsb), pertikaian karena agama... the list goes on. Ketidak-sepakatan yang terjadi di kalangan umat manusia itu membingungkan. Beberapa berkata bahwa ada nilai-nilai luhur yang harus kita jaga, bahwa apabila nilai-nilai tersebut menghilang maka hancurlah peradaban kita. Beberapa berkata bahwa kita harus menanggapi perubahan dengan tangan terbuka, bahwa memang pada kenyatannya nilai (dan dengan demikian, makna) adalah "suatu rompi yang kau jahit untuk kau pakai sendiri." 

Disaat merenungkan hal inilah saya menyadari satu hal, penyebabnya mudah: memang begitulah keberadaan manusia. Tidak semua pertanyaan mengapa perlu dijawab dengan teknis dan kompleks. Memang begitu manusia berada, memang begitulah pikiran kita bekerja. Ada orang yang tertawa pada suatu hal yang bagi orang lain merupakan suatu hinaan. Ada orang yang memiliki paham yang baginya adalah paham yang harus dipahami semua orang, dan paham yang sama dianggap berbahaya dan harus dilenyapkan bagi orang-orang lainnya. Memang begitulah manusia.

Apakah bisa diperbaiki? Bisa.

Saat kita semua lenyap.

Karena betul lah kata sang ular, "Mata manusia menjadi 'terbuka', dan kita menjadi 'dewa;' dapat menentukan apa yang 'baik' dan yang 'jahat'." 

Kenyataan ini, pembaca yang budiman, seharusnya membuat kita benar-benar tersesat. Karena berarti, segala nilai yang kita jadikan patokan dalam kehidupan kita, yang diuntaikan kepada kita oleh lingkungan dan keluarga kita, adalah hasil jadi dari sifat keberadaan manusia. Selama kita berkata "Hii, kok jelek," atau "Harusnya begini nih!", maka kita telah melakukan apa yang memang manusia dapat lakukan; bersandiwara menjadi Tuhan.

Komentar

Popular Articles

I Gave You What You Prayed, Why are You Still Complaining?

Limit