Be Comfortable Being Uncomfortable
Di post yang sebelumnya, saya menyinggung soal 'Menjadi nyaman dalam ketidaknyamanan'.
Saya rasa itu adalah phrase yang patut mendapat postnya sendiri. Jadi apa sebenarnya arti 'nyaman dalam ketidaknyamanan'?
Bermula dari diri saya yang merasa lelah menjadi kurus. Serius, tinggi 168 cm tapi berat hanya 50 Kg + pakaian. Jadilah saya memulai proses penggemukan; saya makan lebih banyak dari biasanya dalam satu hari, dan terlebih lagi saya mulai nge-gym.
Tapi bagi seseorang seperti saya, yang kesehariannya duduk, ataupun berbaring (a.k.a malas-malasan), nge-gym adalah hal yang sangat asing bagi saya. Saya butuh referensi.
Jadi, seperti biasa saya mencari-cari di internet. Ini adalah summery saya mengenai apa yang saya temukan:
Kalau ingin badan cepat besar, maka bertemanlah dengan suplemen!
Hampir sebagian besar website mengatakan demikian, sampai saya bertemu dengan channel orang ini.
Sekali lagi, ini bukan iklan, karena berkontak dengan pemiliknya saja saya tidak pernah. Saya menemukan channel bernama 'Athlean-X' (link disini), dan hostnya sekaligus si pelatih yang bernama Jeff Cavaliere. Ya, dia menjual supplemen juga (karena memang nampaknya harus dibuat yang namanya 'jalur instan'), dan ya dia melalukan banyak video tutorial, mirip seperti video para body-builder lainnya.
Perbedaan kecil adalah, terkadang Jeff menyinggung hal lain di luar pembentukan tubuh. Seperti bagaimana usaha seseorang itu menentukan kesuksesan orang tersebut; tidak bisa seseorang masuk-keluar gym, ngangkat-ngangkat barbel, tapi tidak punya usaha maksimal untuk melakukannya, lalu dapat tubuh yang bagus. Binaragawan harus berusaha maksimal dalam setiap latihannya, demi mendapat hasil yang maksimal.
Tapi jargon Jeff yang terkenal, menurut saya, adalah "Be comfortable being uncomfortable".
Soalnya, memang ngebentuk otot itu nggak enak! Untuk informasi saja, otot bisa menjadi besar karena pertama si pemilik otot itu merusak ototnya (dengan cara-cara yang benar), lalu membiarkan tubuh memperbaikinya, dan selama perbaikan itulah otot membesar. Cuma dari mendengarnya saja, dapat disimpulkan itu menyakitkan. Dan ya, saya mengalaminya.
Hari pertama saya nge-gym. Bukan di Bandung, tapi di Jakarta, waktu saya berlibur bersama keluarga. Di hotel tempat saya menginap, ada gym, jadi saya pergi ke sana.
Ingat bahwa saya tidak pernah ke gym dalam waktu yang panjang, dan saya baru berumur 18 tahun sekarang. Jadi setelah saya masuk pintu itu, saya praktis hanya celingak-celinguk.
Seseorang datang, berkata, "Ada yang bisa dibantu?"
Saya lalu mengatakan maksud saya, plus keterangan tentang ketidaktahuan saya. Dengan senang hati dia menjelaskan soal per-gym-an secara ringkas.
Gym pertama itu, saya tidak mengangkat berat. Tidak pula menggunakan alat yang macam-macam. Hanya pushup, dan situp. Selama 15 menit penuh.
Beres dari situ, saya merasakan rasa tersiksa paling tidak enak dalam hidup saya. Memang saya dulu sempat melakukan rutinitas situp dan pushup di rumah, tapi pause selama beberapa lama karena kesibukan sekolah. Memulainya lagi menyebabkan seluruh otot saya menjerit.
Beberapa minggu kemudian, saya memutuskan untuk mendaftar gym dekat rumah saya. Pulang dari sana, sekali lagi badan saya menjerit, tapi tidak sekuat sebelumnya. I can handle it, pikir saya.
Jadi begitulah rutinitas saya belakangan.
Setiap hari Senin dan Kamis saya melatih otot tangan, bahu, dan dada. Kemudian Selasa-Jumat saya melatih otot perut, punggung, dan kaki. Hari Rabu, Sabtu, dan Minggu saya beristirahat.
Dan setiap saya pulang, tidak ada sekalipun rasa sakit otot yang absen. Bagi saya itu bagus. Membiasakan diri untuk merasakan sakit otot dalam batas kewajaran (ingat, harus wajar) berarti pertanda kalau otot saya akan bertumbuh. Apakah enak?
Aneh, tapi ajaib, saya menikmatinya. Menikmati hal yang tidak enak itu susah. Bisa menikmatinya adalah suatu anugrah.
Apabila saya hanya melakukan latihan setengah hati, yang saya dapatkan adalah buang-buang waktu, dan zero result. Jeff mengatakan hal itu juga.
But, ada pula batasnya dalam melakukan hal yang tidak enak itu. Kalau saya melatih otot-otot saya terlalu keras, efeknya bukannya bagus malah jadi buruk, itupun zero result, mungkin bisa dikatakan negative results.
Maka hal pertama yang harus dilakukan sebelum melatih otot, adalah melatih otak; mengetahui hal-hal yang perlu diketahui, dan merencanakan jenis latihan apa yang harus dilakukan untuk mencapai goal latihan otot.
Itu, lucunya, bukan hanya untuk pembentukan otot saja, tapi dalam kehidupan.
***
Kita terkadang setengah hati dalam mengejar sesuatu. Kesuksesan dalam berbisnis, misalnya. Atau, dalam pengalaman saya sebagai pelajar, masuk perguruan tinggi negeri.
Ada dua jalan untuk bisa masuk PTN, satu dari nilai rapot 5 semester (namanya SNMPTN) dan satu lagi dari hasil tes tertulis (namanya SBMPTN).
Dari hasil rapot 5 semester, si murid harus bisa menjaga nilainya diatas rata-rata selama 5 semester, cukup baik hingga pada akhirnya nilai-nilai tersebut dapat diterima untuk memasukkan dia ke PTN yang ia inginkan. Berarti si murid ini--mari kita katakan saja 'murid A'--murid A ini harus selama 2,5 tahun berturut-turut rajin mengumpulkan nilai yang baik, belajar sungguh-sungguh, dan mengorbankan hal seperti pulang malam, bermain bersama teman, dan lain-lain.
Kalau A cukup cerdas sih, dia bisa saja memanagemen waktunya untuk belajar dan berpiknik ria, namun sekali lagi itu butuh modal pikiran yang kuat.
Atau cara kedua, yang ditempuh si murid B. B, dalam hal ini, rata-rata. Tidak terlalu malas, tidak terlalu rajin pula. Rapotnya biasa-biasa saja, sehingga saat dimasukan untuk seleksi SNMPTN, dengan rapot seperti itu, ia tidak lolos. Tapi saat SBMPTN, karena dia ingin masuk PTN, dia mendaftar kelas bimbel, belajar lebih giat, meluangkan waktu yang banyak. Dan ujian SBMPTN pun ia lewati dengan baik.
Persamaan dari A dan B adalah, pada akhirnya mereka melakukan yang terbaik demi pendidikan mereka. Biarpun mungkin waktunya berbeda.
Jadi, biarlah saya perkenalkan C. Malas selama masih di sekolah, dan ogah mengikuti SBMPTN.
Alasannya karena setelah lulus dia ingin langsung bekerja. Dia tahu bakatnya dimana, dan memiliki kemampuan disana. Jadi mengapa pula dia harus belajar pelajaran layaknya geografi, akuntansi, ekonomi, dan lain-lain? Atau kalau dia anak IPA, ia harus belajar fisika, kimia, dan biologi untuk buka usaha kue? Atau bengkel?
Yang benar saja!
Untuk apa dia uncomfortable di bidang itu?
KLIK!
Disitulah kuncinya: tujuan. Menjadi nyaman dalam ketidaknyamanan adalah permasalahan mengenai apakah ada tujuan atau tidak. Apakah tujuan itu penting untuk dikejar atau tidak. Bagi saya keluar dari level kurus, ke level 'wow-gila-ni-anak-bisepnya-gede-banget' adalah salah satu prioritas, jadi saya jalankan semua itu dengan baik, malah menikmatinya. Menikmatinya!
Oh ya, murid A, B, dan C hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak jenis murid, yang kalau saya cukup rajin untuk menulisnya pastilah akan ada yang namanya murid AMDINTEL, tepat setelah murid AMDINTEK, dan seterusnya.
Tapi seluruh murid-murid itu boleh saja dikategorikan begini: mana yang berusaha, dan mana yang tidak.
Serta untuk orang-orang yang ngegym: mana yang setengah hati, dan mana yang berusaha penuh melakukan reps mereka.
Percayalah, saat Anda menikmati hal-hal yang orang lain tidak ingin nikmati, Anda akan mendapatkan hal-hal yang orang lain ingin dapatkan, tapi tidak dipunyainya.
Salam saya,
CJWiguna (a.k.a si Blogger Malas)
ps. Daripada makan suplemen, mending makan daging dan telur. Jauh lebih sehat dan murah.
Komentar
Posting Komentar